:: WELCOME TO MY BLOG, PLEASE COMMENT ::

Sunday, March 17, 2013

Aturan Apa yang Bisa Bikin Pebisnis Online Ditangkap Polisi?

Aturan Apa yang Bisa Bikin Pebisnis Online Ditangkap Polisi?
Selamat siang. Anak saya menjalankan bisnis online. Posisinya ada di Jakarta. Beberapa waktu ini ada info bahwa pebisnis online dicari polisi dan ditangkap. Kabarnya mereka yang tertangkap diminta bayaran Rp25-40 juta oleh polisi. Beberapa hari ini polisi mencari anak saya terkait bisnis ini (upline dia sudah ditangkap dan membayar sejumlah uang). Bagaimana aturan tentang bisnis ini sehingga pebisnis dikejar dan ditangkap polisi? Apa yang harus dilakukan menghadapi polisi seperti itu? Apakah ada argumentasi hukum terkait pembelaan atas kasus anak saya sehingga tidak diperlakukan semena-mena? Terima kasih.

Sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, kami akan menerangkan sedikit tentang kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering disebut e-commerce atau juga sebagian lagi menyebutnya bisnis online.
Kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering disebut e-commerce, termasuk di dalamnya perdagangan/bisnis online, saat ini memang semakin marak, khususnya disebabkan karena adanya kemudahan untuk memulai bisnis (start-up), kecilnya modal, biaya pemasaran dan distribusi yang dapat diminimalisir, dengan potensi profit yang besar.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tidak pernah melarang berlangsungnya bisnis online. Bahkan, UU ITE dapat menjadi landasan sahnya transaksi elektronik dalam bisnis online.
Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku usaha jual-beli online harus mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Sepanjang pelaksanaan usaha atau bisnis online dilakukan secara legal dan tidak melanggar ketentuan pidana dalam UU ITE, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)*, maupun peraturan perundang-undangan lainnya, maka tidak ada alasan bagi Aparat Penegak Hukum (“APH”) untuk melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku usaha online.
Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik bisnis online dalam UU ITE hanya terkait informasi bohong atau menyesatkan terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1]) dan perbuatan memproduksi atau memperdagangkan perangkat keras atau perangkat lunak yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan pidana UU ITE (Pasal 34 ayat [1]).
Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
Pasal 28 ayat (1) UU ITE:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”
Pasal 34 ayat (1) UU ITE:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:
a.    Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33”
b.    Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33.”
Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan, pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat dikenai pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Dalam hal terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik, penyidik pejabat polisi berwenang untuk melakukan penyidikan, penggeledahan, penyitaan terhadap sistem elektronik, penangkapan maupun penahanan. Di sisi lain, secara perdata, apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan atas kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik, pihak tersebut dapat menggugat terhadap pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik tersebut.  
Aspek pelaksanaan usaha bisnis online sendiri diatur secara lengkap dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 40 sampai dengan Pasal 51 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). Sepanjang semua ketentuan dalam UU ITE dan PP PSTE telah dipenuhi, maka bisnis online yang anak Anda lakukan menurut kami diakui secara hukum.
Sayangnya dalam pertanyaan, Anda tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis jual-beli/bisnis online yang dilakukan anak Anda, sehingga kami belum dapat memastikan apakah terdapat unsur pidana dalam bisnis online tersebut. Kami sarankan jika terjadi penangkapan terhadap anak Anda, Anda dapat menanyakan dasar atau alasan polisi melakukan tindakan hukum terhadap anak Anda. Apabila anak Anda dapat membuktikan bahwa kegiatan bisnis online yang dilakukannya tidak melanggar hukum, maka Anda dapat mengacu kepada ketentuan di atas sebagai pembelaan bahwa bisnis online tersebut dilaksanakan tanpa melanggar ketentuan hukum.
Tindakan oknum polisi yang meminta bayaran terhadap pelaku usaha bisnis online tanpa dasar hukum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP dengan ancaman pidana paling lama sembilan bulan. Jika oknum polisi tersebut tidak bisa menunjukkan dasar hukum yang tepat atas permintaan sejumlah uang tersebut, kami menyarankan Anda menyampaikan laporan tersebut ke sentra layanan pengaduan Polres/Polda/Polri atas dasar terjadinya delik pemerasan yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut.
Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat.  
*Catatan editor: Jika pebisnis online melakukan penipuan, maka yang bersangkutan juga dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 378 KUHP. Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam artikel-artikel berikut:
  
Dasar Hukum:

Keabsahan Transaksi Jual Beli Melalui Blackberry Messenger

Keabsahan Transaksi Jual Beli Melalui Blackberry Messenger
Perkembangan teknologi memang luar biasa, hingga bisnis pun bisa dilakukan di mana saja termasuk perkembangan smartphone yang dimiliki sekarang yaitu blackberry. Tidak hanya shop online di internet tetapi juga menjamur di bbm group yang banyak menawarkan produk-produk yang mau dijual dengan gambar dan teks. 1. Bagaimanakah hukumnya penjualan via bbm group tersebut, apakah UU No. 8 Thn. 2008 tentang ITE yang bisa dikaitkan tentang transaksi elektronik tersebut, dan juga, jika terjadi wanprestasi?. 2. Negara manakah yang sudah mengatur atau memiliki undang-undangnya tentang transaksi melalui blackberry, sebagai perbandingan hukum yang ada? Terima kasih.

Keabsahan Transaksi Jual Beli Melalui BBM
Jual beli produk (barang/jasa) yang dilakukan melalui media komunikasi Blackberry Messenger (“BBM”) dimungkinkan untuk dilakukan karena memang sampai saat ini tidak ada larangan akan hal tersebut di Indonesia. Adanya pemikiran/pertimbangan untuk melarang penggunaan BBM di Indonesia dan beberapa negara lainnya seperti Cina, Arab Saudi, India, lebih karena isi komunikasi BBM tidak dapat dimonitor atau disadap oleh pemerintah/penegak hukum terkait sehingga layanan BBM ini dapat disalahgunakan untuk aktivitas yang mengancam kepentingan nasional (seperti mengorganisasi kegiatan teroris atau kerusuhan).
Pada prinsipnya (dengan beberapa pengecualian seperti pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik– UU ITE), penggunaan media komunikasi BBM atau suatu media elektronik lainnya untuk transaksi jual beli produk diserahkan kepada kebebasan para pihak untuk menentukannya (tergantung dari kesepakatan antara penjual dan pembeli).Pasal 19 UU ITE menyebutkan bahwa:
“Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.”
Kecuali untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta maka transaksinya tidak sah jika dilakukan secara elektronik (Pasal 5 ayat [4] UU ITE). Contohnya, transaksi jual beli tanah yang perjanjiannya harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Transaksi jual beli yang terjadi melalui layanan BBM itu sah dan mengikat para pihak sepanjang kontrak elektroniknya (perjanjian jual beli yang dibuat/dilakukan dengan cara komunikasi melalui layanan BBM) memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang berbunyi:
Semua perjanjian yang dibuatsecara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yangmembuatnya”
Adapun syarat sahnya kontrak elektronik berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) yaitu:
I.    Syarat Subjektif yang mana jika tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak (selama belum ada pembatalan maka perjanjian tetap sah), yaitu:
1.  Adanya kesepakatan para pihak mengenai harga dan produk, tanpa ada paksaan, kekhilafan maupun penipuan;
2.   Kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Pada dasarnya orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh undang-undang (seperti tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan) adalah cakap menurut hukum. Sedangkan, “Dewasa” berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata adalah berusia sudah 21 tahun atau sudah/pernah menikah.
II.  Syarat objektif yang mana jika tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum, dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, yaitu:
1.  Produk yang merupakan objek perjanjian harus tertentu (definite) dan dapat dilaksanakan (possible).
2.  Sebab yang halal (lawful), isi dan tujuan dari perjanjian jual beli tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebagai contoh: jual beli dilakukan bukan untuk barang yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan (contohnya bukan barang illegal)
Informasi elektronik berupa isi percakapan/komunikasi melalui BBM antara penjual dengan pembeli dapat dijadikan salah satu alat untuk membuktikan dan menerangkan perjanjian yang terjadi antar para pihak. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakanalat bukti hukum yang sah.
Jadi, suatu transaksi jual beli tidak akan disangkal keabsahannya hanya karena bukti transaksi jual belinya semata-mata dalam bentuk elektronik.
Lahirnya Kontrak Elektronik dalam Jual Beli Melalui BBM
Jika para pihak tidak mengatur kapan terjadinya/lahirnya kontrak elektronik,maka lahirnya kontrak elektronik dalam transaksi jual beli produk melalui layanan BBM, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ketika penjual menjajakan produknya atau membuka “lapak/toko” di antaranya melalui gambar dan/atau teks yang dikirim ke BBM Group, lalu pembeli memesan produk tersebut melalui komunikasi teks yang dikirim ke BBM Group atau Personal Chat yang ditujukan kepada penjual, maka pada saat ini belum terjadi kontrak elektronik antara penjual dan pembeli.
Pada tahap ini, penjual belum terikat untuk memenuhi pesanan tersebut. Penjual masih dapat menolak atau menyetujui pesanan pembeli tersebut karena ada kemungkinan stoknya sudah tidak tersedia atau terdapat kesalahan secara tidak sengaja (salah ketik) pada harga yang tertera pada produk.
Tindakan penjual yang memperlihatkan (display)/menjajakan produknya/membuka lapak/toko melalui BBM Group, (atau portal/website atau media [publik] elektronik lainnya) tanpa keterangan tambahan (misalnya, berupa pernyataan penawaran) menurut pendapat penulis pada dasarnya bukan penawaran, tetapi lebih kepada promosi/iklan. Tindakan penjual tersebut merupakan ajakan/undangan bagi pembeli untuk melakukan negosiasi atau penawaran terhadap produk yang disajikan (invitation to treat).
Oleh karena itu, kontrak elektronik tersebut baru lahir ketika penjual menyetujui pesanan pembeli tersebut yang dilakukan melalui komunikasi teks yang dikirim ke BBM Group atau Personal Chat yang ditujukan kepada pembeli. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE yaitu:
”(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
 (2)  Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.”
Dalam kondisi tertentu, kegiatan promosi atau iklan dapat mengikat penjual jika dinyatakan dengan tegas oleh penjual di dalam iklan tersebut dengan semacam pemberitahuan bahwa setiap pemesanan dari siapapun akan langsung diterima/dipenuhi, maka dalam hal ini penjual telah melakukan penawaran, bukan iklan/promosi. Dan ketika pembeli melakukan pemesanan, maka lahirlah kontrak elektronik dan penjual sudah terikat untuk memenuhi pesanan tersebut, tanpa perlu konfirmasi dari penjual lagi.
Transparansi: Pemberian Informasi Sebelum Lahirnya Kontrak Elektronik (pre-contractual information)
Di dalam proses jual beli melalui layanan BBM ini, sebelum lahirnya kontrak elektronik terdapat kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar mengenai identitas pelaku usaha, syarat dan ketentuan kontrak, serta produk sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU ITE:
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar" meliputi:
a.       informasi mengenai identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
b.       informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.”
Jika pelaku usaha tidak memberikan informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU ITE dan mengakibatkan kerugian kepada pembeli, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi perdata. Dalam hal ini, pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan pelaku usaha tersebut, dapat mengajukan tuntutan ganti rugi melalui pengadilan. Tuntutan tersebut didasarkan pada perbuatan melawan hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata:
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Untuk menghindari risiko tuntutan hukum, sebaiknya penjual memberikan informasi yang lengkap dan benar sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU ITE dan pemberian informasi tersebut dilakukan sebelum pembeli melakukan pemesanan produk.
Kewajiban pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU ITE ini, menurut pendapat penulis, tidak berlaku bagi penjual yang tidak termasuk sebagai “pelaku usaha” yaitu penjual yang menjual produk bukan untuk kepentingan bisnis/usaha/profesinya. Contohnya, menjual tas/jam tangan/barang milik pribadi lainnya yang mungkin sudah tidak dipakai.
Pelaku usaha didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) sebagai berikut:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
UU ITE juga memberikan perlindungan hukum bagi konsumen atas perbuatan setiap orang yang merugikan konsumen dengan cara menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dalam sebuah transaksi elektronik. Dalam hal penjual yang memanfaatkan layanan BBM melakukan hal tersebut, makadapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman sanksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Secara sederhana, penulis contohkan; tindakan penjual yang dengan sengaja membohongi konsumen dalam jual beli suatu produk dengan mengatakan produknya itu asli, padahal produk tersebut palsu dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini.
Definisi konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen yaitu:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak
Dengan lahirnya kontrak elektronik melalui media komunikasi BBM, maka lahirlah hak dan kewajiban masing-masing dari penjual dan pembeli untuk pelaksanaan jual belinyayaitu penjual menyerahkan hak milik atas suatu produk dan pembeli membayar harga produk (lihat Pasal 1313, Pasal 1457 dan Pasal 1458 KUHPerdata).
Kontrak elektronik sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) PP PSTE wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia. Jadi, jika kontrak elektronik dibuat menggunakan bahasa selain Bahasa Indonesia maka, menurut pendapat penulis, kemungkinan syarat dan ketentuan dalam kontrak elektronik tersebut tidak akan cukup mengikat secara hukum.
Syarat dan ketentuan dalam kontrak elektronik yang minimal wajib diatur/disepakati berdasarkan Pasal 48 ayat (3) PP PSTE yaitu:
a.    “Data identitas para pihak;
b.    Objek dan spesifikasi;
c.    Persyaratan transaksi elektronik;
d.    Harga dan biaya;
e.    Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f.     Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g.    Pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.”
Ketentuan Pasal 48 ayat (3) PP PSTE ini disusun dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan kontrak elektronikjika sewaktu-waktu terjadi wanprestasi yang menimbulkan perselisihan di antara para pihak. Ketika terjadi wanprestasi yang mana salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (ingkar janji), maka hak dan kewajiban masing-masing pihak akan ditegaskan sesuai syarat dan ketentuan dalam kontrak elektronik termasuk juga sesuai dengan prinsip keadilan, praktik-praktik bisnis yang baik, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi:
“Perjanjian tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Menurut penulis, ada baiknya syarat dan ketentuan kontrak elektronik dibuat dalam file/berkas tersendiri lalu dikirimkan kepada pembeli melalui BBM atau e-mail. Dan pastikan pembeli sudah memberikan persetujuannya terhadap syarat dan ketentuan tersebut sebelum transaksi dilakukan.
Pengaturan di Negara Lain
Sebagai perbandingan dapat melihat ketentuan transaksi elektronik di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (terdiri dari 27 negara anggota), yang mana berdasarkan Pasal 9 Directive 2000/31/EC on Electronic Commerce setiap negara anggota Uni Eropa wajib menjamin bahwa sistem hukumnya membolehkan kontrak untuk dibuat secara elektronik [dengan beberapa pengecualian]. Terutama persyaratan hukum yang berlaku untuk proses kontrak harus dipastikan tidak menciptakan hambatan untuk penggunaan kontrak elektronik atau mengakibatkan kontrak elektronik tidak diakui legalitasnya dan keberlakuannya atas dasar kontrak tersebut dibuat secara elektronik.
Untuk mengatur transaksi jual beli produk secara elektronik yang dilakukan tanpa pertemuan secara simultan antara penjual dan pembeli, negara anggota Uni Eropa juga diwajibkan untuk menyusun peraturan hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam Directive 97/7/ECon the Protection of Consumers in respect of Distance Contracts.
Jadi, peraturan transaksi jual beli secara elektronik di negara-negara anggota Uni Eropa diharmonisasi melalui kedua Directive di atas. Tentunya jika ingin melihat peraturan yang berlaku untuk transaksi jual beli melalui media komunikasi BBM di suatu negara anggota Uni Eropa, referensi tetap pada peraturan nasional masing-masing negara-negara tersebut.
Di negara Inggris Raya (United Kingdom), kedua Directive di atas diimplementasikan dalam The Consumer Protection (Distance Selling) Regulations 2000 dan The Electronic Commerce (EC Directive) Regulations 2002. Secara umum, perbedaan yang signifikan dengan ketentuan di Indonesia yang harus diikuti ketika ingin melakukan jual beli melalui media komunikasi BBM di antaranya:
1.       Teknik-teknik promosi produk harus dilakukan dengan memperhatikan hak privasi orang dan dengan mudah diidentifikasikan sebagai kegiatan promosi.
2.       Penjual wajib menyediakan syarat dan ketentuan kontrak melalui media yang memungkinkan pembeli untuk menyimpan dan mencetaknya sebagai referensi di kemudian hari.
3.       “Cooling off” Period yaitu pembeli memiliki hak untuk membatalkan kontrak elektronik secara sepihak yang mana pembeli dapat mengembalikan produk yang sudah dibelinya tanpa harus ada alasan tertentu dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah barang diterima. Dan penjual harus mengembalikan uang yang telah dibayar oleh pembeli dalam jangka waktu 30 hari. Ketentuan ini tidak berlaku di antaranya untuk produk-produk yang didesain khusus untuk pembeli, produk rekaman suara atau video atau software komputer yang segelnya telah dibuka oleh pembeli, produk jasa taruhan atau undian.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
1.    Directive 97/7/EC/ on the Protection of Consumers in respect of Distance Contracts
2.    Directive 2000/31/EC on Electronic Commerce
3.    The Consumer Protection (Distance Selling) Regulations 2000(UK)
4.    The Electronic Commerce (EC Directive) Regulations 2002 (UK)

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online


Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online
Saya pernah belanja barang secara online, tapi barang yang saya beli tidak sama dengan yang saya lihat di foto pada iklan yang dipajang. Pertanyaan saya, apakah itu termasuk pelanggaran hak konsumen? Apakah saya dapat menuntut penjual untuk mengembalikan uang atau mengganti barang yang saya beli tersebut ? Terima kasih.

Kami akan menjawab pertanyaan Anda dengan menggunakan pendekatan utama pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). PP PSTE sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (“UU ITE”).
Pendekatan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli/Belanja secara Online
Dengan pendekatan UU PK, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.    hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.     hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.    hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
a.    beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.    memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.    memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.    menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.    memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang  dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.
Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE
Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:
a.    terdapat kesepakatan para pihak;
b.    dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.    terdapat hal tertentu; dan
d.    objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a.    data identitas para pihak;
b.    objek dan spesifikasi;
c.    persyaratan Transaksi Elektronik;
d.    harga dan biaya;
e.    prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f.     ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g.    pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda.
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
Lalu, bagaimana jika barang yang Anda terima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).
Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Secara Online
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).
Catatan tentang Transaksi Secara Online
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, toko online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Kominfo.
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Pasal untuk Menjerat Anak yang Lakukan Pencabulan

Pasal untuk Menjerat Anak yang Lakukan Pencabulan
Ada anak laki dan perempuan masih di bawah 18 tahun melakukan hubungan suami istri. Perbuatan dilakukan karena si laki-laki merayu si perempuan, kemudian keduanya melakukan suka sama suka. Tetapi, ada orang lain yang melaporkan kejadian ini. Pertanyaan; 1) kasus ini dalam kategori kasus pelecehan atau pencabulan? 2) ancaman dari perbuatan tersebut dalam pasal berapa?

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual, Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.
 
Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
 
Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP)
 
Akan tetapi, dalam hal ini, percabulan terjadi antara seseorang yang berusia di bawah 18 tahun kepada seseorang yang juga berusia di bawah 18 tahun. Ini berarti yang menjadi korban adalah seorang anak. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP.
 
Pengertian anak, menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
 
Dalam hal terjadi hubungan suami isteri antara kedua anak tersebut, karena diawali dengan rayuan terlebih dahulu dari si anak laki-laki, maka dia dapat dikenai Pasal 82 UU Perlindungan Anak:
 
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
 
Dari rumusan pasal di atas terlihat bahwa tidak ada keharusan bahwa tindakan pidana tersebut harus dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena itu, orang lain boleh melaporkan kejadian ini.
 
Melihat pada ketentuan Pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh si anak laki-laki dapat dipidana berdasarkan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Perlu diketahui bahwa dalam pasal tersebut tidak diatur mengenai siapa yang melakukan tindakan pidana tersebut, apakah orang yang sudah dewasa atau anak-anak. Oleh karena itu, anak-anak pun dapat dipidana berdasarkan pasal ini.
 
Hal ini juga sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yaitu:
 
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
 
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Penerapan Pidana Penjara Bagi Anak, mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana menjadi 12 tahun.
 
Perkara percabulan yang mana pelaku maupun korbannya adalah anak antara lain pernah diputus oleh Pengadilan Negeri Mojokerto dalam putusan Nomor: 42/ Pid. B / 2012/ PN. Mkt.. Dalam perkara ini, tindakan percabulan dilakukan 3 orang anak, masing-masing berumur 15 tahun, 13 tahun, dan 12 tahun, terhadap seorang anak perempuan berusia 7 (tujuh) tahun. Dalam perkara tersebut Pengadilan Negeri Mojokerto memberikan hukuman pidana penjara selama: 1 (satu) bulan dan 27 hari dan denda sebesar Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan latihan pendidikan atau latihan kerja selama 5 (lima) hari. Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto mendasarkan putusannya pada Pasal 82 UU Perlindungan Anak jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
 
Sebagai referensi, Anda dapat membaca beberapa artikel berikut:
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

BRYAN. Powered by Blogger.

DAFTAR ISIAN

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More