:: WELCOME TO MY BLOG, PLEASE COMMENT ::

Sunday, April 14, 2013

Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim

Assalamualaikum wr. wb. Saya ingin menanyakan mengenai status hukum dan hak waris anak sewa rahim? Thanks.

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Salam sejahtera,
 
Sebagaimana kami pernah bahas dalam artikel Surrogate Mother (Ibu Pengganti), sewa rahim atau sering juga dikenal dengan istilah surrogate mother sebenarnya belum ada pengaturannya dalam hukum Indonesia. Hukum di Indonesia hanya mengatur mengenai upaya kehamilan di luar cara alamiah yang mana hasil pembuahan dari suami isteri tersebut ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Dalam Pasal 127 UU Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)    hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)    dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)    pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
 
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.
 
Sementara itu, Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes dalam bukunya Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? antara lain menulis bahwa surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement (hal. 3). Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali’ (hal. 35). Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.
 
Berdasarkan uraian tersebut dapat kita lihat bahwa surrogate mother ini dikenal juga dengan istilah sewa rahim dikarenakan metodenya, yang mana hasil pembuahan suami isteri ditampung dalam rahim perempuan lain yang dianggap menyewakan rahimnya.
 
Dalam artikel Perlu Payung Hukum Sewa Rahim yang dimuat suaramerdeka.com, pakar hukum kesehatan Undip, dokter Sofwan Dahlan mengatakan praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung. Hanya saja, menurutnya, rahim inang yang digunakan berbeda. Dalam artikel tersebut juga ditulis pernyataan dari Prof Dr Agnes Widanti yang mengatakan bahwa kasus sewa rahim memang menjadi satu dilema. Dia mengatakan, di satu sisi masyarakat membutuhkan, namun di sisi hukum belum ada aturan yang mengatur sewa menyewa rahim sehingga bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang penyelesaiannya sangat sulit. Prof Agens juga mengatakan bahwa kenyataan di Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan sudah dilakukan oleh masyarakat dengan diam-diam atau secara kekeluargaan.
 
Status dan Hak waris anak hasil sewa rahim
Mengenai status anak yang lahir dari sewa rahim, pertama-tama kita harus melihat terlebih dahulu pengertian mengenai anak yang sah Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Dalam Pasal 42 UU Perkawinan dikatakan bahwa yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
 
Sedangkan dalam hukum Islam, berdasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yang dimaksud dengan anak sah adalah:
a.    anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b.    hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
 
Sebenarnya secara biologis, anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dari adanya sewa rahim tersebut, adalah anak dari si pasangan suami dan istri tersebut, hanya saja dilahirkan melalui perempuan lain.
 
Akan tetapi, mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat. Menurut Desriza Ratman (hal. 120), untuk melihat golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari wanita surrogate. Menurutnya, anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah “anak di luar perkawinan yang tidak diakui”, yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau isteri dengan laki-laki atau perempuan lain.
 
Akan tetapi, lanjut Desriza, anak tersebut dapat menjadi anak sah jika status wanita surrogate-nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami isteri yang disewa rahimnya, sampai si bapak (suami dari wanita surrogate) mengatakan “Tidak” berdasarkan Pasal 251, Pasal 252, dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan atas UU Perkawinan Pasal 44: Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
 
Mengenai hak waris anak yang dilahirkan dari sewa rahim, menurut Desriza, hak waris anak akan ditentukan dari status anak tersebut, apakah anak tersebut adalah anak di luar perkawinan yang tidak diakui atau anak sah.
 
Sewa rahim menurut Hukum Islam
Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya (hal. 660). Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung (hal. 659). Demikian tulis Qaradhawi.
 
Selanjutnya, Qaradhawi menulis, jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitupula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, inipun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini, menurut Qaradhawi, dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Demikian Qaradhawi menjelaskan.
 
Lebih jauh Qaradhawi menulis:
 
“Bahkan, jika wanita tersebut adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan cara ini, tidak diketahui siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi akan disandarkan, pemilik sel telur atau si pemilik rahim?
 
Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an, sejalan dengan pendapat ini, yaitu dalam firman Allah swt,
 
‘Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.’
(al-Mujaadilah: 2)”
 
Demikian kami telah sajikan penjelasan berikut berbagai pendapat mengenai hukum sewa rahim, dan status anak yang dilahirkan dari sewa rahim. Dari berbagai macam pendapat yang kami sajikan tersebut dapat terlihat bahwa pada dasarnya mengenai praktik sewa rahim maupun status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim, masih terdapat pro kontra. Pada akhirnya, jika terjadi sengketa sehubungan hal ini, Hakim di pengadilan lah yang akan memutuskan penyelesaiannya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
1.    Al-Quran
5.    Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
 
Referensi:
1.    Dr. Yusuf Qaradhawi. 2001. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3. Gema Insani Pers: Jakarta.
2.    Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes. 2012. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? Elex Media Komputindo: Jakarta
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jika Anggota Polri Memiliki Harta Kekayaan Berlimpah

Jika pasangan suami dan istri anggota polri yang berpangkat masing-masing, Aipda dan Aiptu, tapi memiliki 12 rumah kontrakan, sebidang tanah dengan luas 1000 m, memiliki 2 rumah mewah, dan sebuah pom bensin (walau hanya kerja sama usaha pom bensin), memiliki restoran besar. Apakah termasuk ada unsur korupsi, mengingat kedua pasangan tersebut anggota polri?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Dalam hal ini, kami berasumsi bahwa anggota Polri yang Anda maksud adalah Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”) dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“KEPP”).
 
Kami juga berasumsi pangkat “Aipda” yang Anda maksud adalah singkatan dari Ajun Inspektur Polisi Dua, sedangkan “Aiptu” adalah singkatan dari Ajun Inspektur Polisi Satu. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Polri, dapat kita lihat bahwa anggota Polri adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aipda dan Aiptu termasuk anggota Polri Golongan II (Bintara).
 
Sebelum membahas mengenai apakah harta benda yang dimiliki oleh pasangan suami isteri anggota Polri ini termasuk ada unsure korupsi, kita lihat terlebih dahulu sebenarnya apa saja hak-hak dari anggota Polri (dari sudut materi).
 
Pada dasarnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak (Pasal 26 ayat (1) UU Polri). Mengenai hal tersebut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2010 Tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP No. 42/2010”) mengatur lebih rinci mengenai hak-hak yang diterima oleh anggota Polri, yaitu:
1.    Gaji pokok, yang dapat diberikan kenaikan secara berkala dan dapat diberikan kenaikan gaji istimewa bagi anggota Polri yang berprestasi (Pasal 2 PP No. 42/2010);
2.    Tunjangan keluarga (yang terdiri atas tunjangan istri/suami dan anak), tunjangan jabatan, tunjangan lauk pauk, tunjangan beras (Pasal 3 PP No. 42/2010);
3.    Tunjangan umum dan tunjangan lainnya (Pasal 4 PP No. 42/2010). Dalam artikel Anggota Polri Dapat Tunjangan 100 Persen diberitakan antara lain bahwa Anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri yang bertugas secara penuh pada pulau–pulau kecil terluar dan/atau wilayah perbatasan mendapat tunjangan khusus. Setiap bulan, tunjangan mereka pada kisaran 75-100 persen gaji pokok sesuai tempat tugas masing-masing. Tunjangan khusus ini diatur dalam Perpres No. 34 Tahun 2012 tentang Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau Kecil Terluar dan/atau Wilayah Perbatasan Bagi Pegawai Negeri;
4.    Perumahan dinas/asrama/mess, sedangkan bagi anggota Polri yang belum memperoleh perumahan dinas/asrama/mess dapat diberikan kompensasi sewa rumah sesuai kemampuan keuangan negara (Pasal 11 PP No. 42/2010);
5.    Fasilitas transportasi atau angkutan dinas (Pasal 12 PP No. 42/2010)
 
Mengenai besarnya gaji untuk anggota Polri dapat Anda lihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 17 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedelapan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 Tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Besarnya gaji pokok anggota Polri juga bergantung pada masa kerja golongan (MKG) anggota Polri yang bersangkutan.
 
Terkait dengan korupsi, pada dasarnya setiap anggota Polri pada saat mengucapkan sumpah jabatan berjanji bahwa ia akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya (Pasal 23 UU Polri).
 
Selain itu, berdasarkan Pasal 13 KEPP dilarang untuk melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi. Lebih jauh mengenai apa saja yang menjadi kewajiban dan larangan bagi anggota Polri, dapat dilihat juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa tentu saja tetap ada kemungkinan pelanggaran dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Polri. Tentu saja hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, misalnya dapat dilihat dari tidak sesuainya gaji dan tunjangan yang diperoleh oleh anggota Polri dengan harta benda yang dimilikinya.
 
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam artikel yang berjudul Pembuktian Terbalik Bisa Diterapkan untuk Pegawai Negeri, bila ada seorang PNS yang mempunyai kekayaan melebihi pendapatan seharusnya berarti sudah bisa dipastikan bahwa tindakannya tersebut ilegal. Jimly juga mengatakan bahwa bisa dipastikan dia mempunyai pendapatan di luar resmi.
 
Kemudian, di dalam artikel Bukti yang Harus Dimiliki PNS atas Penghasilan Sampingan antara lain dijelaskan bahwa untuk memastikan bahwa dana di rekening gendut PNS bukanlah dari hasil tindak pidana (misal: korupsi), Pasal 5 angka 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menentukan bahwa seorang PNS sebagai penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sebagai PNS.
 
Jadi, untuk dapat mengatakan anggota Polri tersebut melakukan tindak pidana korupsi, maka harus dapat dibuktikan bahwa ada tindakan yang dilakukan oleh pasangan suami isteri tersebut atau salah satu dari mereka yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
7.    Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2012 tentang Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau Kecil Terluar dan/atau Wilayah Perbatasan Bagi Pegawai Negeri
8.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Apakah Kerugian BUMN Merupakan Kerugian Negara?

Apakah kerugian yang dialami oleh BUMN dalam melakukan kegiatan usahanya sama dengan kerugian negara?


Untuk menjawab pertanyaan Saudara maka pertama-tama kami akan menjelaskan mengenai definisi BUMN. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”), Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
 
BUMN sendiri terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan (“Persero”) dan Perusahaan Umum (“Perum”). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
 
Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero selama tidak diatur oleh UU BUMN.
 
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, perseroan terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Dalam buku Prof. Subekti, S.H. yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perdata” pada hal. 21 dijelaskan antara lain, badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut.
 
Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT, yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri.
 
Hal tersebut juga berlaku dalam BUMN yang berbentuk Perum, yang berdasarkan Pasal 35 UU BUMN Perum mempunyai status sebagai badan hukum sejak diundangkannya tentang pendirian Perum tersebut dalam Peraturan Pemerintah.
 
Pasal 35 ayat (2) UU BUMN:
“Perum yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.”
 
Oleh karena Perum juga merupakan badan hukum, maka uraian di atas mengenai kekayaan badan hukum yang terpisah dari pendirinya juga berlaku untuk Perum. Selain itu, menteri sebagai salah satu organ Perum, tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum (dengan beberapa pengecualian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 39 UU BUMN:
 
Pasal 39 UU BUMN:
“Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri:
a.    baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi;
b.    terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau
c.    langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.”
 
Maka apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh Perum itu sendiri, maka kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada negara atau Menteri dan kerugian tersebut bukan merupakan tanggung jawab negara atau Menteri. Dengan begitu jelas bahwa negara yang melakukan penyertaan dalam BUMN tidak mengalami kerugian dengan adanya kerugian dalam BUMN dalam menjalankan usahanya.
 
Meski demikian, terdapat ketentuan yang berbeda terkait kekayaan BUMN sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”).Ketentuan yang kami maksud adalah Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi:
 
“g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;”
 
Dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara juga ditegaskan bahwa perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Ini berarti kekayaan BUMN termasuk ke dalam kekayaan negara.
 
Topik ini memang masih menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum, sebagaimana dapat disimak dalam artikel dari Alfin Sulaiman, S.H., M.H. yang berjudul Definisi Keuangan Negara Menurut Konstitusi dan Undang-Undang.
 
Berkaitan dengan hal ini, kami mengutip pendapat Prof. Erman Rajagukguk dalam tulisannya yang berjudul “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”. Dalam tulisan tersebut, Erman menyatakan bahwa BUMN merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri. Dengan demikian, kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Erman juga berpendapat bahwa “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam BUMN secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN itu.
 
Dalam hal ini, kami cenderung sependapat dengan argumen yang mengatakan bahwa kekayaan BUMN memang terpisah dari kekayaan negara karena kekayaan negara di dalam BUMN hanya sebatas pada saham tersebut. Sehingga pada saat ada kerugian yang dialami oleh BUMN, hal tersebut bukan kerugian negara, tetapi kerugian BUMN saja. Lain halnya apabila saham negara pada BUMN tersebut dijual tanpa izin dari negara sebagai pemiliknya, baru hal tersebut mengakibatkan kerugian negara.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

Status Kewarganegaraan Akibat Perkawinan dengan WNA

Untuk pernikahan campuran, apakah masing-masing pihak bisa tetap dengan kewarganegaraannya masing-masing ataukah harus memilih salah satu warga negara? Jika seorang wanita WNI menikah dengan pria WNA dan mereka memutuskan untuk menetap di Indonesia, apakah pria WNA harus mengubah kewarganegaraannya menjadi WNI?


Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia (“WNI”) dengan seorang warga negara asing (“WNA”).
 
Selanjutnya, menurut Pasal 58 UUP bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kita perlu merujuk pada ketentuan Undang-Undang kewarganegaraan RI yang berlaku saat ini yaitu UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”). Mengenai status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran, hal tersebut diatur di dalam Pasal 26 UU Kewarganegaraan, yang berbunyi:
 
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(4)Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
 
Jadi, jika kita melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan, dapat diketahui bahwa apabila hukum negara asal si suami memberikan kewarganegaraan kepada pasangannya akibat perkawinan campuran, maka istri yang WNI dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi WNI.
 
Kemudian, Anda juga menanyakan mengenai status kewarganegaraan si suami yang WNA jika pasangan perkawinan campuran tersebut menetap di Indonesia. Di dalam ketentuan UU Kewarganegaraan, tidak ditentukan bahwa seorang WNA yang kawin dengan WNI maka secara otomatis menjadi WNI, termasuk jika menetap di Indonesia. Hal yang perlu diperhatikan oleh si WNA selama tinggal di Indonesia adalah harus memiliki izin tinggal. Selanjutnya, silakan simak artikel Prosedur KITAS dan KITAP.
 
Jika si WNA telah menetap tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun berturut-turut, barulah dia memenuhi syarat mengajukan diri untuk menjadi WNI jika ia menghendaki (lihat Pasal 9 huruf b UU Kewarganegaraan).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Cara Penyelesaian Sengketa Pajak


Bagaimana mekanisme pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak menurut UU Perpajakan?

Definisi sengketa pajak dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“UU 14/2002”), yang berbunyi sebagai berikut:
Sengketa pajak adalah adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
 
Ketentuan tentang Banding dan Gugatan dalam sengketa pajak diatur lebih lengkap dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya kami sebut sebagai UU KUP. Pengadilan pajak dalam hal ini merupakan lembaga penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk sesuai amanat UU KUP.
 
Jadi, yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa dalam bidang perpajakan. Bentuk perkara sengketa pajak dapat berupa Banding atau Gugatan. Sayangnya, Anda tidak memberikan keterangan lebih detail mengenai bentuk sengketa pajak yang mana yang Anda maksud. Karena itu, kami akan jelaskan mekanisme banding dan gugatan dalam sengketa pajak.
1.    Banding
Menurut Pasal 12 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Yang dimaksud Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (Pasal 1 angka 15 UU KUP).
 
Kadangkala terjadi selisih perhitungan pajak yang terutang menurut wajib pajak dan pihak kantor pelayanan pajak. Terhadap hal ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak (Pasal 25 ayat [1] UU KUP).
 
Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak secara tertulis. Keberatan diajukan dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan (Pasal 25 ayat [2] dan ayat [3] UU KUP).
 
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan (Pasal 26 ayat [1] UU KUP). Jika jangka waktu telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan (Pasal 26 ayat [5] UU KUP).
 
Tata cara pengajuan keberatan dan penyelesaian diatur lebih lanjut melalui Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan.
Jika wajib pajak tidak puas dengan keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang diajukan, wajib pajak hanya dapat mengajukan banding kepada pengadilan pajak (Pasal 27 ayat [1] UU KUP).
 
2.    Gugatan
Berbeda halnya dengan proses perkara banding yang merupakan kelanjutan dari proses keberatan kepada Dirjen Pajak, perkara gugatan merupakan perkara yang diajukan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap (Pasal 31 ayat [3] UU 14/2002 jo. Pasal 23 ayat [2] UU KUP):
a.    pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b.    keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c.    keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 (UU KUP); atau
d.    penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
 
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak (Pasal 33 ayat [1] UU 14/2002). Oleh karena itu, upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan banding maupun putusan gugatan pengadilan pajak adalah Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
 
Jadi, mekanisme penyelesaian sengketa pajak adalah sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan

BRYAN. Powered by Blogger.

DAFTAR ISIAN

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More