Pasal untuk Menjerat Anak yang Lakukan Pencabulan
Ada anak laki dan perempuan masih di bawah 18 tahun melakukan hubungan
suami istri. Perbuatan dilakukan karena si laki-laki merayu si
perempuan, kemudian keduanya melakukan suka sama suka. Tetapi, ada orang
lain yang melaporkan kejadian ini. Pertanyaan; 1) kasus ini dalam
kategori kasus pelecehan atau pencabulan? 2) ancaman dari perbuatan
tersebut dalam pasal berapa?
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual, Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo,
Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai
perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji,
dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya,
cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan
sebagainya.
Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual.
Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang
menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar.
Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut
maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP)
Akan
tetapi, dalam hal ini, percabulan terjadi antara seseorang yang berusia
di bawah 18 tahun kepada seseorang yang juga berusia di bawah 18 tahun.
Ini berarti yang menjadi korban adalah seorang anak. Oleh karena itu,
peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP.
Pengertian anak, menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam
hal terjadi hubungan suami isteri antara kedua anak tersebut, karena
diawali dengan rayuan terlebih dahulu dari si anak laki-laki, maka dia
dapat dikenai Pasal 82 UU Perlindungan Anak:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).”
Dari
rumusan pasal di atas terlihat bahwa tidak ada keharusan bahwa tindakan
pidana tersebut harus dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik
pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh
karena itu, orang lain boleh melaporkan kejadian ini.
Melihat
pada ketentuan Pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, perbuatan yang
dilakukan oleh si anak laki-laki dapat dipidana berdasarkan Pasal 82 UU
Perlindungan Anak. Perlu diketahui bahwa dalam pasal tersebut tidak
diatur mengenai siapa yang melakukan tindakan pidana tersebut, apakah
orang yang sudah dewasa atau anak-anak. Oleh karena itu, anak-anak pun
dapat dipidana berdasarkan pasal ini.
Hal ini juga sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yaitu:
“Anak adalah
orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.”
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Penerapan Pidana Penjara Bagi Anak, mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana menjadi 12 tahun.
Perkara
percabulan yang mana pelaku maupun korbannya adalah anak antara lain
pernah diputus oleh Pengadilan Negeri Mojokerto dalam putusan Nomor: 42/
Pid. B / 2012/ PN. Mkt.. Dalam perkara ini, tindakan percabulan
dilakukan 3 orang anak, masing-masing berumur 15 tahun, 13 tahun, dan 12
tahun, terhadap seorang anak perempuan berusia 7 (tujuh) tahun. Dalam
perkara tersebut Pengadilan Negeri Mojokerto memberikan hukuman pidana
penjara selama: 1 (satu) bulan dan 27 hari dan denda sebesar
Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak
dibayar diganti dengan latihan pendidikan atau latihan kerja selama 5
(lima) hari. Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto mendasarkan putusannya
pada Pasal 82 UU Perlindungan Anak jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Sebagai referensi, Anda dapat membaca beberapa artikel berikut:
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
0 good:
Post a Comment