Aturan Apa yang Bisa Bikin Pebisnis Online Ditangkap Polisi?
Selamat siang. Anak saya menjalankan bisnis online. Posisinya ada di
Jakarta. Beberapa waktu ini ada info bahwa pebisnis online dicari polisi
dan ditangkap. Kabarnya mereka yang tertangkap diminta bayaran Rp25-40
juta oleh polisi. Beberapa hari ini polisi mencari anak saya terkait
bisnis ini (upline dia sudah ditangkap dan membayar sejumlah uang).
Bagaimana aturan tentang bisnis ini sehingga pebisnis dikejar dan
ditangkap polisi? Apa yang harus dilakukan menghadapi polisi seperti
itu? Apakah ada argumentasi hukum terkait pembelaan atas kasus anak saya
sehingga tidak diperlakukan semena-mena? Terima kasih.
Sebelum
kami menjawab pertanyaan Anda, kami akan menerangkan sedikit tentang
kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering
disebut e-commerce atau juga sebagian lagi menyebutnya bisnis online.
Kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik atau sering disebut e-commerce, termasuk di dalamnya perdagangan/bisnis online, saat ini memang semakin marak, khususnya disebabkan karena adanya kemudahan untuk memulai bisnis (start-up), kecilnya modal, biaya pemasaran dan distribusi yang dapat diminimalisir, dengan potensi profit yang besar.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tidak pernah melarang berlangsungnya bisnis online. Bahkan, UU ITE dapat menjadi landasan sahnya transaksi elektronik dalam bisnis online.
Secara filosofis, Pasal 3 UU ITE mengatur bahwa setiap pemanfaatan teknologi informasi harus didasarkan pada asas “kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan netral teknologi”. Lebih lanjut, mengenai pentingnya kepastian hukum ini tertuang dalam Pasal 4 UU ITE yang mengatur bahwa “transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum…” Hal ini menyiratkan bahwa pelaku usaha jual-beli online harus mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Sepanjang pelaksanaan usaha atau bisnis online dilakukan secara legal dan tidak melanggar ketentuan pidana dalam UU ITE, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”)*, maupun peraturan perundang-undangan lainnya, maka tidak ada
alasan bagi Aparat Penegak Hukum (“APH”) untuk melakukan tindakan hukum
apapun terhadap pelaku usaha online.
Hal yang berkaitan langsung dengan pidana dalam praktik bisnis online dalam UU ITE hanya terkait informasi bohong atau menyesatkan terhadap konsumen (Pasal 28 ayat [1])
dan perbuatan memproduksi atau memperdagangkan perangkat keras atau
perangkat lunak yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan pidana UU
ITE (Pasal 34 ayat [1]).
Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
Pasal 28 ayat (1) UU ITE:
“Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik”
Pasal 34 ayat (1) UU ITE:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki:
a. Perangkat
keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus
dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 27 sampai dengan pasal 33”
b. Sandi
lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang
ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai
dengan pasal 33.”
Pelanggaran
terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut dapat dikenai pidana penjara
paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan,
pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (1) UU ITE dapat dikenai pidana
paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Dalam hal
terdapat dugaan tindak pidana transaksi elektronik, penyidik pejabat
polisi berwenang untuk melakukan penyidikan, penggeledahan, penyitaan
terhadap sistem elektronik, penangkapan maupun penahanan. Di sisi lain,
secara perdata, apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan atas
kegiatan perdagangan yang menggunakan sistem elektronik, pihak tersebut
dapat menggugat terhadap pihak yang menyelenggarakan transaksi
elektronik tersebut.
Aspek pelaksanaan usaha bisnis online sendiri diatur secara lengkap dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 40 sampai dengan Pasal 51 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). Sepanjang semua ketentuan dalam UU ITE dan PP PSTE telah dipenuhi, maka bisnis online yang anak Anda lakukan menurut kami diakui secara hukum.
Sayangnya dalam pertanyaan, Anda tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis jual-beli/bisnis online yang dilakukan anak Anda, sehingga kami belum dapat memastikan apakah terdapat unsur pidana dalam bisnis online
tersebut. Kami sarankan jika terjadi penangkapan terhadap anak Anda,
Anda dapat menanyakan dasar atau alasan polisi melakukan tindakan hukum
terhadap anak Anda. Apabila anak Anda dapat membuktikan bahwa kegiatan
bisnis online yang dilakukannya tidak melanggar hukum, maka Anda dapat mengacu kepada ketentuan di atas sebagai pembelaan bahwa bisnis online tersebut dilaksanakan tanpa melanggar ketentuan hukum.
Tindakan oknum polisi yang meminta bayaran terhadap pelaku usaha bisnis online tanpa dasar hukum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP
dengan ancaman pidana paling lama sembilan bulan. Jika oknum polisi
tersebut tidak bisa menunjukkan dasar hukum yang tepat atas permintaan
sejumlah uang tersebut, kami menyarankan Anda menyampaikan laporan
tersebut ke sentra layanan pengaduan Polres/Polda/Polri atas dasar
terjadinya delik pemerasan yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut.
Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat.
*Catatan
editor: Jika pebisnis online melakukan penipuan, maka yang bersangkutan
juga dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 378 KUHP. Hal ini
sebagaimana dijelaskan di dalam artikel-artikel berikut:
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
0 good:
Post a Comment